sekilas.co – Pernah nggak, sih, kamu merasa perlu menyembunyikan sesuatu dari dokter saat konsultasi Misalnya, bilang kalau kamu rajin olahraga padahal terakhir kali jogging sudah sebulan lalu. Atau mungkin kamu mengaku sudah berhenti makan gorengan, padahal baru saja menikmati sepiring ayam crispy kemarin sore. Tenang, kamu nggak sendirian. Banyak orang melakukan hal yang sama karena merasa malu, takut dihakimi, atau khawatir dokter akan memberi reaksi yang membuat tidak nyaman. Padahal, tanpa disadari, kejujuran adalah salah satu kunci utama agar pengobatan berjalan dengan baik dan hasil pemeriksaan menjadi lebih akurat.
Faktanya, sebuah studi dari University of Utah yang dilansir oleh HuffPost mengungkapkan bahwa sekitar 60 hingga 80 persen orang dewasa pernah berbohong kepada dokter mengenai gaya hidup mereka. Alasannya beragam mulai dari takut dikritik, ingin terlihat lebih sehat, hingga malas menerima nasihat panjang lebar soal pola makan atau olahraga. Tapi, yang sering dilupakan adalah, setiap informasi yang tidak sesuai kenyataan bisa mengacaukan proses diagnosis dan membuat dokter salah menilai kondisi tubuh kita. Akibatnya, pengobatan bisa tidak efektif, bahkan memperburuk masalah kesehatan yang sedang dialami.
Salah satu kebohongan yang paling sering dilakukan adalah berhenti minum obat tanpa memberi tahu dokter. Menurut Dr. Raquel Zemtsov dari University of Pittsburgh, banyak pasien yang menghentikan konsumsi obat, seperti obat penurun kolesterol (statin), di tahun pertama karena merasa tidak cocok, mengalami efek samping, atau sekadar lupa. Padahal, ketika pasien tidak terbuka soal hal ini, dokter tidak bisa menyesuaikan dosis atau mengganti obat dengan alternatif yang lebih ringan. Kalau kamu jujur, dokter justru bisa membantu mencari solusi terbaik, entah dengan mengganti resep, menurunkan dosis, atau memberi saran lain agar pengobatan tetap berjalan aman dan nyaman.
Selain itu, ada juga pasien yang tidak jujur soal alasan mereka menolak menjalani prosedur medis tertentu. Misalnya, dokter menyarankan terapi fisik, pemeriksaan darah, atau tindakan medis lain, tapi kamu diam-diam memilih untuk tidak melakukannya karena takut, cemas, atau trauma dengan pengalaman sebelumnya. Menurut Dr. Katie Freeman dari University of Minnesota, keterbukaan di awal konsultasi sangat penting untuk membangun rasa percaya. Jika kamu merasa tidak nyaman, sampaikan saja dengan jujur. Dokter bisa menyesuaikan metode pengobatan atau memberikan alternatif lain yang lebih sesuai dengan kondisi emosional dan fisikmu. Ingat, dokter tidak akan memaksa mereka justru ingin memastikan kamu merasa aman dan siap dalam setiap prosesnya.
Kebohongan berikutnya yang sering muncul adalah tentang gaya hidup dan pola makan. Siapa sih yang tidak ingin terlihat disiplin dan sehat di depan dokter? Tapi, jika kamu bilang makan sayur setiap hari atau rutin olahraga padahal kenyataannya jarang, dokter bisa salah membaca kondisi tubuhmu. Misalnya, dokter bisa saja melewatkan tanda awal diabetes, kolesterol tinggi, atau gangguan metabolisme karena mengira kamu sudah menjalani pola hidup ideal. Dengan bersikap jujur, dokter bisa memberi saran yang realistis dan sesuai dengan rutinitasmu, bukan sekadar teori. Mereka bisa membantumu menyusun langkah kecil yang masuk akal untuk memperbaiki kebiasaan tanpa membuatmu kewalahan.
Selain soal gaya hidup, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol juga sering jadi hal yang “disembunyikan”. Banyak orang memilih untuk tidak jujur agar terlihat lebih baik di mata dokter. Padahal, menurut Dr. Freeman, ketidakjujuran ini justru bisa berakibat fatal. Jika kamu bilang hanya minum alkohol seminggu sekali padahal sebenarnya lebih sering, dokter tidak akan bisa memperkirakan risiko kerusakan hati, tekanan darah tinggi, atau gangguan tidur yang mungkin kamu alami. Bahkan, kebiasaan ini bisa menjadi tanda adanya stres atau kecemasan yang belum terselesaikan. Dengan terbuka, dokter bisa membantu mengatasinya dengan cara yang tepat, baik melalui terapi, konseling, maupun obat penenang yang sesuai kebutuhan.
Hal lain yang juga sering dianggap tabu untuk dibicarakan adalah masalah pencernaan atau area tubuh yang dianggap memalukan , seperti buang air besar yang tidak lancar, bau tubuh berlebihan, atau ruam di area sensitif. Padahal, menurut Dr. Freeman, hal-hal kecil ini bisa menjadi tanda awal dari penyakit serius, seperti infeksi bakteri, gangguan hormon, bahkan kanker usus besar. Dokter sudah terbiasa menangani berbagai keluhan tersebut secara profesional, jadi tidak perlu merasa malu atau takut dihakimi. Justru dengan jujur menceritakan keluhanmu, kamu bisa mendapat diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat, tanpa harus berspekulasi dari hasil pencarian internet yang belum tentu benar.
Selain itu, topik seputar kesehatan seksual juga sering dihindari karena dianggap terlalu pribadi. Banyak pasien yang tidak berani membicarakan masalah seperti nyeri saat berhubungan, disfungsi ereksi, atau kekeringan pada organ intim. Padahal, menurut Dr. Beth Oller, seorang dokter keluarga di Kansas, masalah tersebut bisa menjadi tanda awal penyakit lain seperti diabetes, gangguan hormon, atau bahkan autoimun. Jika kamu tidak nyaman membicarakannya dengan dokter yang sekarang, tidak apa-apa untuk mencari dokter lain yang membuatmu merasa lebih aman. Yang terpenting, kamu tidak menyembunyikan hal-hal yang berkaitan dengan tubuhmu sendiri, karena kesehatan seksual juga bagian dari kesehatan menyeluruh.
Pada akhirnya, Beauties, penting untuk diingat bahwa dokter bukanlah hakim yang akan menilai benar atau salah, melainkan mitra dalam menjaga dan memulihkan kesehatanmu. Menjadi jujur bukan berarti kamu lemah, melainkan bentuk kepedulian terhadap tubuhmu sendiri. Semakin terbuka kamu pada dokter, semakin besar peluang pengobatanmu berjalan lancar dan efektif. Jadi, mulai sekarang, jangan ragu untuk menceritakan apa pun yang kamu rasakan dari kebiasaan kecil, pola makan, hingga perubahan tubuh yang mungkin kamu anggap sepele. Siapa tahu, dengan kejujuran sederhana itu, proses penyembuhanmu bisa jadi lebih cepat, aman, dan tentu saja lebih nyaman.





