sekilas.co – Banjir, apalagi banjir bandang, memang bisa menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Bangunan, rumah, serta berbagai infrastruktur bisa hancur diterjang air, sehingga membuat warga terisolasi. Tak hanya itu, banjir juga menimbulkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penyebaran penyakit berbahaya. Salah satu penyakit yang meningkat kasusnya setelah banjir adalah leptospirosis.
Dibandingkan penyakit lain seperti flu atau diare, leptospirosis memang jarang terdengar. Meski begitu, kasusnya cenderung meningkat setelah terjadi badai atau banjir. Kebanyakan penderita leptospirosis mengalami gejala ringan dan tidak mengancam nyawa, tetapi kasus parah tetap memerlukan perawatan intensif. Lantas, apa itu leptospirosis dan bagaimana penyakit ini menyebar saat banjir?
Leptospirosis adalah infeksi langka yang disebabkan oleh bakteri Leptospira. Penyakit ini tergolong zoonosis, yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia. Menurut WebMD, hewan yang terinfeksi leptospirosis bisa mengeluarkan bakteri melalui urin, yang kemudian mencemari tanah atau air. Saat manusia bersentuhan dengan tanah atau air yang terkontaminasi, bakteri bisa masuk ke tubuh.
Berbeda dengan virus yang menyebar melalui udara, Leptospira masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang terluka atau melalui organ pernapasan seperti hidung dan mulut. Bakteri ini juga bisa menular melalui cairan tubuh, seperti air mani atau ASI. Karena cara penularannya terbatas, leptospirosis jarang menular antar manusia.
Penyakit ini bisa menyerang siapa saja tanpa memandang usia atau tempat tinggal. Namun, orang yang tinggal di wilayah tropis dengan curah hujan tinggi seperti Karibia, Oseania, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan beberapa negara Sub-Sahara lebih rentan. Selain itu, mereka yang bekerja dengan tanah atau hewan, seperti petani, peternak, pekerja tambang, dokter hewan, atau pemilik hewan peliharaan, memiliki risiko lebih tinggi.
Bencana banjir dan badai meningkatkan risiko leptospirosis karena akses air bersih terbatas. Korban banjir terpaksa menggunakan air kotor bekas banjir, sehingga bakteri lebih mudah menyebar. Setiap tahunnya, sekitar 1 juta kasus leptospirosis terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 60.000 jiwa.
Mayoritas kasus ringan, dengan gejala mirip flu yang muncul 2–30 hari setelah paparan. Gejala termasuk demam menggigil, batuk, diare, muntah, sakit kepala, nyeri otot, ruam, mata merah, dan penyakit kuning (jaundice). Sebagian besar orang pulih dalam waktu satu minggu. Namun, sekitar 10% kasus bisa berkembang menjadi serius dan mengancam nyawa.
Kasus parah dapat memengaruhi organ vital seperti jantung, hati, dan ginjal, dengan gejala tambahan seperti kelelahan, detak jantung tidak teratur, nyeri otot, mual, mimisan, nyeri dada, pembengkakan tangan dan kaki, serta penyakit kuning. Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian.
Mencegah leptospirosis relatif mudah dengan menjaga kebersihan diri. Berikut beberapa langkah penting
Vaksinasi hewan Pastikan hewan ternak atau peliharaan divaksinasi lengkap. Di negara maju, vaksinasi hewan umumnya terjamin, tetapi di negara berkembang, cakupan vaksinasi belum merata, sehingga risiko penularan lebih tinggi.
Hindari tikus Hewan pengerat, terutama tikus, adalah pembawa utama bakteri Leptospira.
Waspada air kotor Hindari aktivitas di air banjir, sungai, atau danau yang tercemar. Jika terpaksa, gunakan pakaian dan sepatu pelindung, lalu segera mandi dan cuci tangan setelah aktivitas.
Meski kebanyakan kasus ringan, leptospirosis tetap harus diwaspadai, terutama saat musim hujan. Jangan ragu memeriksakan diri ke klinik atau rumah sakit jika muncul gejala yang mengarah pada leptospirosis. Dengan langkah pencegahan dan kesadaran, risiko tertular penyakit ini bisa diminimalkan.





