Dampak Perilaku Buruk terhadap Kesehatan Mental dan Hubungan Sosial

Foto/Ilustrasi/unsplash.com/Chaozzy Lin

Perilaku buruk kepada orang lain sering kali dianggap sepele, padahal dampaknya bisa merusak kesehatan mental, emosional, hingga kualitas hubungan sosial. Fenomena ini semakin sering terjadi di tengah masyarakat, terutama dengan hadirnya media sosial yang memudahkan orang melontarkan kata kata kasar tanpa pikir panjang. Mulai dari kebiasaan merendahkan, menyalahkan, hingga melakukan bully, semua itu termasuk kategori perilaku buruk yang dapat menimbulkan luka psikologis bagi korban. Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku negatif tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga dapat mencerminkan masalah kesehatan mental dari pelakunya.

Di berbagai kota besar Indonesia, kasus kekerasan verbal maupun non verbal terus meningkat. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, perilaku agresif, baik di lingkungan kerja, sekolah, maupun keluarga, menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya tingkat stres dan depresi pada masyarakat. Misalnya, seorang karyawan yang mendapat perlakuan buruk dari atasannya berpotensi mengalami kecemasan hingga kehilangan motivasi kerja. Begitu pula di sekolah, anak anak yang sering menerima ejekan dari teman sebaya lebih rentan mengalami trauma jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku buruk adalah masalah serius yang perlu ditangani secara komprehensif.

Baca juga:

Perilaku buruk tidak hanya berdampak pada korban, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan pelaku itu sendiri. Menurut pakar kesehatan mental, individu yang terbiasa melampiaskan amarah atau melakukan intimidasi justru lebih rentan terhadap penyakit jantung, tekanan darah tinggi, serta gangguan kecemasan. Tubuh yang terus menerus berada dalam kondisi penuh amarah akan menghasilkan hormon stres berlebih, seperti kortisol dan adrenalin, yang dalam jangka panjang merusak sistem imun. Dengan kata lain, sikap negatif bukan hanya melukai orang lain, tetapi juga menurunkan kualitas hidup pelakunya.

Di era digital, perilaku buruk semakin mudah terlihat dalam bentuk ujaran kebencian atau hate speech di media sosial. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan karena dampaknya bisa sangat luas. Korban yang menerima hujatan daring kerap mengalami tekanan psikologis yang berujung pada gangguan mental, bahkan ada kasus ekstrem yang berakhir pada tindakan bunuh diri. Para psikolog menekankan pentingnya literasi digital agar masyarakat lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Pemerintah pun telah mengeluarkan regulasi terkait Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menekan maraknya perilaku buruk di ruang digital.

Selain merugikan secara pribadi, perilaku buruk juga mengancam keharmonisan sosial. Masyarakat yang terbiasa dengan interaksi negatif akan lebih mudah terpecah belah, baik dalam lingkup keluarga, lingkungan kerja, maupun kehidupan bermasyarakat. Misalnya, konflik antarwarga sering berawal dari sikap saling menghina atau menyebarkan fitnah. Jika dibiarkan, perilaku buruk dapat memicu kerusakan hubungan sosial yang lebih besar, bahkan berpotensi menimbulkan kekerasan fisik. Oleh karena itu, para tokoh masyarakat dan pemimpin komunitas memiliki peran penting dalam mengedukasi dan memberikan teladan agar nilai nilai empati dan saling menghargai tetap terjaga.

Untuk mencegah dan mengurangi dampak perilaku buruk, psikolog menyarankan pentingnya membangun kecerdasan emosional. Individu yang mampu mengendalikan emosi cenderung lebih bijak dalam menghadapi konflik. Teknik sederhana seperti latihan pernapasan, meditasi, hingga terapi konseling dapat membantu seseorang mengelola amarah. Selain itu, membiasakan diri dengan komunikasi asertif yakni menyampaikan pendapat dengan tegas namun tetap menghargai orang lain dapat menjadi solusi dalam menciptakan interaksi yang lebih sehat. Pendidikan sejak dini mengenai etika sosial juga sangat dibutuhkan agar generasi muda tidak tumbuh dengan kebiasaan merendahkan orang lain.

Di sisi lain, korban dari perilaku buruk juga perlu mendapat dukungan yang memadai. Lingkungan keluarga dan sahabat berperan besar dalam membantu mereka memulihkan rasa percaya diri. Konseling dengan psikolog atau psikiater juga bisa menjadi jalan keluar agar trauma tidak berlarut larut. Lembaga pendidikan maupun perusahaan sebaiknya menyediakan fasilitas pendampingan mental bagi siswa dan karyawan yang mengalami perlakuan buruk. Dengan demikian, dampak negatif bisa diminimalisir sekaligus mendorong terciptanya budaya yang lebih sehat dan saling menghormati.

Pada akhirnya, perilaku buruk kepada orang lain bukanlah masalah kecil, melainkan persoalan serius yang memengaruhi kesehatan mental, fisik, hingga stabilitas sosial. Kesadaran individu untuk mengubah sikap, ditambah dengan dukungan lingkungan dan regulasi pemerintah, menjadi kunci dalam menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan harmonis. Jika perilaku buruk dibiarkan tanpa penanganan, generasi mendatang akan tumbuh dalam lingkungan penuh konflik. Namun jika setiap orang berkomitmen untuk menebar kebaikan, bukan tidak mungkin kesehatan mental kolektif bangsa akan semakin kuat.

Artikel Terkait