Gaya Hidup Tinggi Tapi Tak Sesuai Ekonomi Ancaman Baru di Tengah Krisis

foto / unsplash.com/Eugenia Pan'kiv

Sekilas.co – Fenomena gaya hidup tinggi di kalangan masyarakat terus menjadi sorotan. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, banyak orang tetap memilih untuk tampil mewah meski kemampuan finansial tidak mendukung. Hal ini terlihat dari meningkatnya penggunaan kartu kredit, cicilan barang mewah, hingga gaya hidup konsumtif yang dipamerkan di media sosial.

Para pakar ekonomi menilai bahwa fenomena ini dipicu oleh budaya pamer dan tekanan sosial. Banyak individu merasa harus mengikuti tren, meskipun penghasilan tidak sebanding dengan pengeluaran. Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dihindari. “Ini bukan sekadar soal kebutuhan, tapi lebih pada gengsi,” ujar seorang analis keuangan.

Baca juga:

Kondisi ini juga diperparah dengan mudahnya akses pinjaman online. Bunga tinggi dan sistem cicilan membuat banyak masyarakat terjerat hutang hanya demi mempertahankan gaya hidup serba mewah. Sementara itu, kemampuan finansial justru semakin menurun akibat beban yang menumpuk.

Di sisi lain, media sosial turut memainkan peran besar dalam membentuk pola pikir konsumtif. Kehidupan glamor yang dipamerkan influencer atau selebriti kerap dijadikan tolok ukur kesuksesan. Padahal, realita ekonomi sebagian besar masyarakat jauh berbeda dari yang terlihat di layar ponsel.

Sosiolog menilai bahwa fenomena ini juga terkait dengan pencarian identitas diri. Gaya hidup mewah dijadikan simbol status sosial, sehingga banyak orang merasa dihargai ketika mampu menampilkan kemewahan. Namun, jika dipaksakan tanpa perhitungan, hal ini justru menjadi bom waktu dalam kehidupan finansial.

Pemerintah sendiri terus mengingatkan pentingnya literasi keuangan. Masyarakat diimbau untuk lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, menyesuaikan gaya hidup dengan penghasilan, serta menghindari utang konsumtif. “Hidup sederhana bukan berarti tidak bahagia, justru bisa lebih tenang,” kata pejabat OJK dalam keterangan pers.

Sementara itu, sejumlah pakar menyarankan masyarakat untuk kembali menekankan gaya hidup produktif. Alih  alih menghabiskan uang untuk barang mewah, sebaiknya dana dialihkan pada investasi, tabungan, atau pengembangan keterampilan. Dengan cara ini, kondisi finansial bisa lebih stabil dan masa depan lebih terjamin.

Pada akhirnya, gaya hidup tinggi yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi hanya akan menimbulkan masalah baru. Jika tidak segera dikendalikan, generasi muda berisiko hidup dalam lilitan utang tanpa ada jaminan kesejahteraan. Oleh karena itu, kesadaran kolektif diperlukan agar masyarakat dapat membedakan mana kebutuhan nyata dan mana sekadar tuntutan gengsi.

Artikel Terkait