sekilas.co – Cedera kepala tidak hanya melukai bagian luar kepala. Otak juga bisa terdampak, dan salah satu komplikasinya adalah kejang, yang terjadi ketika sinyal listrik di otak meledak secara tak terkendali. Menariknya, kejang bisa muncul segera setelah cedera atau bahkan bertahun-tahun kemudian, tergantung tingkat keparahan trauma kepala dan faktor lain yang memengaruhi.
Risikonya tidak sama untuk semua orang. Kejang lebih mungkin muncul bila cederanya sedang hingga berat, ada perdarahan di dalam tengkorak (hematoma, kontusio), patah tulang tengkorak yang menekan, atau luka tembus. Temuan kelainan pada CT/MRI, riwayat cedera berulang, infeksi otak, penggunaan atau putus zat (misalnya alkohol), usia sangat muda atau lanjut, serta riwayat kejang sebelumnya, semuanya bisa meningkatkan kemungkinan kejang setelah trauma.
Gejala bahaya yang perlu segera dievaluasi dokter meliputi: kejang, pingsan berkepanjangan, sakit kepala yang semakin berat, muntah berulang, kelemahan satu sisi tubuh, atau kebingungan setelah cedera kepala.
Untuk memahaminya, penting mengetahui cara kerja otak, apa yang terjadi ketika jaringan otak rusak, dan faktor-faktor yang membuat sebagian orang lebih rentan terhadap gangguan ini.
Kejang pascatrauma dibagi berdasarkan waktu kemunculannya
Kejang pascatrauma dini: Terjadi dalam 7 hari pertama setelah cedera. Sekitar 25% orang dengan kejang dini akan mengalami kejang lagi di masa depan.
Kejang pascatrauma lambat: Muncul lebih dari seminggu setelah cedera. Sekitar 80% orang dengan kejang lambat mengalami kejang berulang sepanjang hidup.
Epilepsi: Jika kejang terjadi berulang kali, kondisi ini dikategorikan sebagai epilepsi. Sekitar 50% pasien dengan epilepsi akibat cedera otak terus mengalami kejang seumur hidup.
Para ilmuwan masih meneliti bagaimana cedera otak memicu kejang, tetapi beberapa mekanisme diketahui, antara lain
Cedera kepala tertutup dapat menyebabkan perdarahan otak (hemoragi), memar otak (kontusio), cedera serabut saraf (diffuse axonal injury), pembengkakan otak (edema), atau gangguan aliran darah ke otak (iskemia).
Perubahan kimia di otak yang memengaruhi cara sel saraf bekerja juga sering muncul setelah cedera.
Cedera tembus (seperti luka tembak) bisa menimbulkan jaringan parut pada otak atau lapisan pelindungnya (korteks dan meninges), yang kemudian memicu kejang.
Untuk cedera ringan, biasanya cukup dengan istirahat dan observasi di rumah.
Untuk cedera sedang hingga berat, pasien mungkin membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit, obat antikejang, operasi, hingga perawatan darurat di ICU. Penanganan akan disesuaikan oleh dokter berdasarkan kondisi pasien.
Tidak semua orang dengan cedera otak akan mengalami kejang. Beberapa faktor risiko utama meliputi:
Cedera tembus: Misalnya luka tembak, hingga 50% kasus berakhir menjadi epilepsi.
Operasi otak berulang: Jika seseorang menjalani lebih dari dua operasi untuk memperbaiki kerusakan otak atau mengangkat gumpalan darah, risiko kejang meningkat hingga 35%.
Cedera tanpa operasi: Pada cedera yang hanya melibatkan trauma di dalam tengkorak, risiko sekitar 20%.
Selain cedera otak, faktor lain dapat memperburuk risiko kejang
Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang: Sangat meningkatkan kemungkinan kejang dan bisa berakibat fatal karena risiko tersedak muntah (aspirasi).
Penyakit lain: Demam tinggi atau ketidakseimbangan elektrolit (misalnya kadar natrium rendah) juga bisa memicu kejang.
Cedera otak bisa meningkatkan risiko kejang, baik segera setelah kecelakaan maupun bertahun-tahun kemudian. Gangguan ini terjadi karena adanya ketidakteraturan sinyal listrik di otak akibat pembengkakan, perdarahan, atau jaringan parut.
Meskipun tidak semua orang dengan riwayat cedera kepala akan mengalami kejang, penting untuk tetap memantau kondisi kesehatan dan mengikuti pengobatan dokter. Dengan penanganan yang tepat, risiko komplikasi serius dapat dikurangi, sehingga kualitas hidup tetap terjaga.





